Kualitas Saham IPO dan Introspeksi Bursa Efek
KORPORAT.COM, Jakarta - Performa harga saham pendatang baru tahun ini cukup mengecewakan. Dari 19 saham, 10 di antaranya mencatat penurunan harga.
Berdasarkan data yang dihimpun Fakta.com hingga Rabu (20/3/2024), beberapa saham bahkan menyentuh level terbawah Rp50 dari harga perdananya. Beberapa lainnya mengalami penurunan harga lebih dari 50%.
Dari data yang ada, sebut saja saham PT Asri Karya Lestari Tbk (ASLI). Saham pendatang baru pertama yang tercatat 5 Januari 2024 itu sudah bertengger di level Rp50 dari harga perdananya Rp100.
Nasib serupa juga dialami saham PT Griptha Putra Persada Tbk (GPRH) dari harga perdana pada 18 Januari 2024 Rp103 menjadi Rp50.
Catatan itu tentu saja membuat para investor saham initial public offering (IPO) yang ingin mencari untung, justru buntung. Hal ini pun menimbulkan pertanyaan terkait kualitas perusahaan tercatat (emiten) di Bursa Efek Indonesia atau BEI.
Lantas, apa jawaban BEI terkait pertanyaan itu?
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna menyampaikan, pihaknya melakukan instrospeksi dan refleksi atas apa yang sudah dicapai dan feedback dari market. "Memang ada saja perusahaan-perusahaan yang mengalami permasalahan setelah sahamnya tercatat. Untuk itu, kami lakukan perbaikan dan dipikirkan secara holistik dan komprehensif," ujar Nyoman.
8 dari 19 Saham Baru IPO Terkoreksi, Investor Harus Lebih SelektifDari jawaban itu, Nyoman mengungkapkan, Bursa sudah mengindentifikasi persoalan yang ada. Mulai dari volatilitas transaksi hingga harga suatu saham turun, hingga operasional perusahaan tercatat.
"Ada beberapa yang kami proses juga ke otoritas yang lebih tinggi," katanya.
Untuk itu, Nyoman pun menjabarkan beberapa perbaikan. Di antaranya, menyempurnakan peraturan tentang penjatahan saham IPO.
Menurut Nyoman, hal itu terkait volatilitas transaksi. "Volatilitas ini bisa terjadi karena alokasi atau penjatahan saham IPO," ucap dia.
Perlindungan Investor Saham Baru IPO, Bursa Hanya Bisa Suspensi?Kemudian, Nyoman juga menegaskan soal ketentuan free float (saham publik dengan kepemilikan di bawah 5%). "Kami harus meningkatkan jumlah free float yang riil, sehingga saham yang beredar di publik benar-benar siap ditransaksikan," kata Nyoman menambahkan.
Di sini, Nyoman merencanakan minimal free float 15% dengan kapitalisasi pasar minimal Rp3 triliun. Rencana ini pun terkait dengan adanya lighthouse company.
Beberapa hal lainnya antara lain mulai dari greenshoe regulation untuk menjaga stabilitas market, hingga kualitas financial test untuk perusahaan dengan aset setara UKM.
Selain itu, beberapa upaya lain adalah mendorong penjamin emisi dan pihak lain untuk mendukung dari sisi good corporate governance (GCG) perusahaan. "Ini sudah kami lakukan dengan capacity building yang akan membantu screening untuk mendapatkan perusahaan yang lebih baik," tutur Nyoman.
Komentar (0)
Login to comment on this news